Langsung ke konten utama

Bila Usiaku 40 Tahun


Usia Istimewa ?
            Mengapa usia 40 tahun dianggap istimewa? Banyak contoh peristiwa penting di dunia yang berhubungan dengan usia 40 sehingga menjadikannya usia istimewa. Dahulu orang-orang Quraisy jahiliyah tidak akan memasukkan seorangpun ke dalam Darun Nadwah (Tempat Musyawarah) sebelum mencapai usia 40 tahun, kecuali Hakim bin Hizam. Ia diizinkan masuk ketika berusia 15 tahun disebabkan kecerdasan akal serta kecerdikannya. Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam diangkat menjadi Nabi dan Rasul ketika ia berusia 40 tahun. Begitu juga dengan dengan nabi-nabi yang lain. 

Sementara dalam sebuah catatan sejarah disebutkan bahwa salah satu suku di China akan mematuhi rajanya, jika raja tersebut sudah mencapai usia 40 tahun. Di dalam ilmu kedokteran, seseorang sebaiknya bersiap-siap menghadapi banyak masalah kesehatan saat memasuki usia 40 tahun karena banyak penyakit kronis yang biasanya datang menghampiri saat mencapai usia ini, diantaranya masalah penglihatan, kolesterol, gula darah, tiroid, persendian, tulang (osteoporosis) dan sebagainya. Dalam penelitian dikatakan : “Sesungguhnya penyakit gula jika datang sebelum usia 40 tahun berarti disebabkan karena faktor keturunan/ autoimun (DM Tipe 1), sedangkan jika datang setelah usia 40 tahun maka karena disebabkan hal tertentu (DM Tipe 2)”. Disebutkan pula seorang wanita disarankan untuk hamil dan melahirkan hingga berusia 40 tahun, karena jika melewati usia tersebut, maka faktor resiko yang mungkin terjadi sangat tinggi, antara lain terjadinya komplikasi, bayi prematur atau BBLR (Bayi Berat Badan Lahir Rendah), kelainan genetik/cacat bawaan dan sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan dan perhatian yang lebih instensif pada masa kehamilan maupun saat proses kelahiran bayinya. Beberapa hal tersebut diatas hanyalah segelintir contoh istiwewanya usia 40 tahun, karena masih banyak contoh peristiwa penting di dunia yang berhubungan maupun dihubung-hubungkan dengan usia istimewa ini.
            Salah satu keistimewaan usia 40 tahun tercermin dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Seorang hamba muslim apabila usianya mencapai 40 tahun, maka Allah akan meringankan hisabnya .” (HR. Ahmad).  Maksud hadits ini adalah bahwa usia 40 tahun merupakan titik awal seorang makhluk untuk lebih berkomitmen terhadap Sang Khaliq sehingga jika ia bersungguh sungguh akan komitmennya itu, maka Allah akan meringankan perhitungan amalannya di akhirat nanti. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘Anhu dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mencapai usia 40 tahun dan amalan kebajikannya tidak lebih daripada amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.” Hadits ini memberikan pengertian bahwa manusia  harus lebih “interospeksi diri” ketika usianya menginjak 40 tahun dan diharapkan untuk lebih meningkatkan atau minimal mempertahankan amalan-amalan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya. Saat memasuki usia 40 tahun hendaknya prioritas hidup berubah dari berkutat dengan urusan dunia untuk mencari materi, berganti haluan untuk berkonsentrasi ibadah dalam rangka mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal di akhirat nanti.
Secara khusus Allah-pun telah menyebutkan tentang keistimewaan usia 40 tahun dalam Al Qur’anul Karim, diantaranya dalam QS Al-Ahqaf 15 yang berisi peringatan dari Allah agar manusia saat berusia 40 tahun harus banyak berdoa untuk lebih mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepadanya, beramal sholeh, berbakti kepada kedua orangtua dan bertaubat. Sedangkan dalam QS Fathir : 37 Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir dan apakah tidak datang kepadamu pemberi peringatan?” Ayat ini mengingatkan manusia untuk lebih memikirkan tentang hakekat saat berUsia40 tahun.
Usia 40 tahun dalam perspektif Al-Quran adalah titik tolak yang sangat menentukan arah perjalanan kehidupan anak manusia. Apabila seseorang diberi jatah usia oleh Allah sampai 60 atau 70 tahun, sementara perjalanan kehidupanya sudah sampai usia 40 tahun, berarti 2/3 jatah umurnya sudah dilewati, sehingga sisa umurnya tinggal 1/3nya lagi. Ketika saat itu tiba manusia harus benar-benar waspada, karena Malakul Maut sudah bersiap-siap merenggut nyawanya, liang kuburpun telah menantinya, maka bekal kebaikan untuk tabungan di akhirat sudah seharusnya telah dikumpulkannya jauh-jauh hari sebelumnya. Sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya dan buruk pula amalannya. (HR. Ahmad). Hadits ini menegaskan bahwa usia panjang yang dianugerahkan Allah kepada kita hendaknya dijadikan usia yang barakah yaitu untuk mengumpulkan amal kebaikan sebanyak-banyaknya.  
 LANGKAH PENTING DI USIA 40 TAHUN
Dr Ahmad Annuri, M.A di dalam bukunya Rahasia Dibalik Usia 40 Tahun menuliskan langkah–langkah penting yang harus dilakukan saat menginjak usia 40 tahun, sebagai berikut :
Pertama : Bersyukur
            Ketika Allah telah mengkaruniakan kepada kita usia mencapai 40 tahun, tentunya telah banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita semua, baik berupa nikmat kesehatan, hidayah iman, ke-Islaman dan keturunan yang shalih.
            Bersyukur yang sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengucapkan Alhamdulillah. Namun seorang hamba harus bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya, sebagaimana yang pernah dikatakan Ibnu Qudamah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan”.
Bersyukur dengan hati yakni dengan meyakini bahwa seluruh nikmat bersumber dari Allah. Allah berfirman : “Segala nikmat yang ada pada diri kalian (datangnya) dari Allah” (QS. An Nahl : 53).  Maka tugas hati manusia dalam bersyukur adalah dengan mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah dan bukan dari selain-Nya. Selain itu, iapun dituntut untuk mencintai Allah dan meniatkan untuk menggunakan nikmat yang telah diberikan kepadanya di jalan yang diridhai Allah Ta’ala.
Bersyukur dengan lisan yakni dengan memperbanyak mengucapkan hamdalah, sebagaimana perintah Allah; “Katakanlah : “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)” (Qs. Al-Isra : 111). Termasuk bentuk syukur dengan lisan ialah menceritakan kenikmatan yang kita rasakan kepada orang lain. Adapun mengenai nikmat Rabbmu, maka ceritakanlah. (Qs Adh-Dhuha : 11). Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat ini bahwa, sebagaimana dulu seseorang dalam keadaan miskin lagi kekurangan, kemudian Allah mengubah nasibnya lalu membuatnya kaya, maka sebut-sebutlah  – mensyukuri dengan lisan-  nikmat Allah yang telah dianugerahkan-Nya itu.
Para ulama salaf ketika merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanya, “Bagaimana keadaanmu di pagi ini ?” Merekapun menjawab “Alhamdulillah”.
Adapun bersyukur dengan anggota badan, yakni mempergunakan nikmat Allah untuk ketaatan kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada Allah. Syukur jenis ketiga ini amatlah berat sehingga hanya segelintir hamba-Nya yang mengamalkannya.
Kedua : Akselerasi (Percepatan) Dalam Beramal Shalih
            Amal shalih merupakan bekal bagi seorang mukmin menghadap Allah, ibaratnya sebuah simpanan atau investasi selama hidup di dunia untuk “dibuka” dan dihitung hari kiamat kelak, yakni pada hari ketika harta dan anak keturunan tidak bisa memberikan manfaat apa-apa kecuali mereka yang datang kepada-Nya dengan hati yang bersih.
Menurut istilah dalam Al-Qur’an dan As Sunnah yang dimaksud dengan amal shalih adalah melakukan ketaatan kepada Allah dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, menjauhkan diri dari maksiat, melakukan amalan apapun yang datangnya dari Al-Qur’an dan As sunnah, baik menyangkut pribadi, keluarga maupun masyarakat. Namun ketika seseorang melakukan amal shalih, ia harus memperhatikan syarat-syarat didalamnya, karena syarat tersebut merupakan pondasi penting dalam beramal shalih. Diantara syarat penting yang harus diperhatikan adalah hendaknya amal shalih tersebut dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah, niat yang shahih dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Adapun yang dimaksud dengan percepatan dalam beramal yakni memilih amalan yang memiliki pahala jariyah. Seperti membangun masjid, menyumbangkan sebagian harta ke pondok pesantren atau membagikan Al Quran ke TPA, Pondok Tahfidz Al Quran dan lain sebagainya. Dengan membagikan Al Quran ke TPA misalnya, maka kita akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca atau belajar dengan menggunakan Al Quran yang kita berikan tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang mempelajarinya.
Selain itu, kita diperintahkan memanfaatkan waktu untuk banyak beramal sholih dalam rangka mendapatkan pahala jariyah. Perintah untuk memanfaatkan kesempatan berupa anugerah “waktu” ini diterangkan dalam hadits berikut: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu dan masa kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al Hakim). Oleh sebab itu hendaknya kita mengisi waktu muda, senggang dan sehat dengan berbagai kegiatan ibadah kepada Allah, karena jika seseorang sulit beramal di waktu tua padahal waktu muda gemar beramal, maka baginya tetap akan dicatatkan pahala kebaikan seperti keadaannya di waktu muda. Hal tersebut sama dengan seseorang yang sakit dan bersafar. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya semisal keadaan ketika ia beramal saat mukim atau sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996).
 Ketiga : Mendidik Keluarga Shalih
            Anak keturunan merupakan perhiasan indah di dunia yang dapat mengantarkan seseorang pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat, atau sebaliknya dapat membawa kepada kesengsaraan di dunia dan siksa di akhirat kelak. Banyak orang yang setelah menikah menginginkan segera dikaruniai seorang anak yang hadir dalam kehidupannya, karena besar harapannya bahwa keberadaan anak dalam keluarga maka hidup akan menjadi lebih indah.
Memiliki anak yang shaleh merupakan impian semua orang tua. Bagaimana tidak, anak shalih merupakan investasi bagi kedua orang tuanya kelak di akhirat. Sebagaimana hadits yang sering kita dengar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, :Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa anak yang shalih” (HR. Muslim). Selain keutamaan tersebut, diceritakan bahwa di akhirat ada orang tua yang keheranan karena derajatnya ditinggikan oleh Allah dan dosanya diampuni, disebabkan doa dan istighfar dari anak-anaknya.  Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seseorang ditinggikan derajatnya di surga (kemudian dia heran dan berkata) Mengapa bisa sampai tingkatan ini? Dikatakan kepadanya: itu disebabkan permohonan ampunan (istighfar) anakmu untukmu (HR. Ibnu Majah).
Bila kita menginginkan anak dan keturunan yang shalih maka kitapun juga dituntut untuk memperbaiki diri dan berusaha menjadi orangtua yang shalih. Dan yang terpenting adalah tidak pernah bosan mendoakan anak keturunan kita menjadi anak yang shalih dan shalihah sebagaimana para Anbiya (Nabi) mendoakan anak keturunan mereka. Diantara cara generasi awal membina generasi shalih yaitu ; Mempelajari ke-Islaman dalam ilmu dan amal, memutus sempurna prilaku jahiliyah di masa lalu serta berdiri di hadapan Al Quran seperti berdirinya seorang prajurit di hadapan panglimanya, yakni tunduk dan patuh terhadap segala perintah.
 Keempat : Taubat Nasuha
Ketika waktu telah mengikis usia, sementara dosa laksana pasir di padang sahara, maka tak akan ada yang dapat menghapuskanya kecuali taubat nasuha. Beliau Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:   “Seorang yang bertaubat maka ia sama dengan seseorang yang tidak memiliki dosa” (HR. Ibnu Majah)
Taubat merupakan salah satu perintah Allah kepada hambanya yang beriman. Banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang taubat, diantaranya Allah berfirman : Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung” ( Qs. An-Nur :24)
Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan berkomitmen melaksanakan semua yang dicintai dan meninggalkan semua yang dibenci. Ibnu Qayyim menjelaskan hakikat taubat dengan mengatakan : “ Hakikat taubat adalah penyesalan terhadap perbuatan maksiat yang pernah dilakukan, meninggalkannya ketika sedang berada dalam kemaksiatan, dan berkeinginan keras untuk tidak mengulanginya pada waktu-waktu yang akan datang”.
Taubat seseorang akan diterima oleh Allah bila taubat tersebut memenuhi syarat-syarat daripada taubat itu sendiri, bukan taubat sambal” yang hari ini bertaubat kemudian besok melakukan pelangaran yang sama. Diantara syarat taubat yang harus dipenuhi adalah berhenti dan bertekad kuat berlepas diri dari perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, menyesali perbuatan dosa tersebut, harus dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah dan bertaubat pada waktu diterimanya taubat bukan seperti taubatnya fir’aun yang bertaubat dalam keadaan sakaratul maut datang menjemput, karena taubat seperti ini akan sia-sia belaka karena bertaubat disaat waktu sudah tidak diterimanya lagi taubat.
 Kelima : Istiqomah Dalam Islam
            Suatu ketika ada salah seorang shahabat yang datang dan bertanya kepada Rasulullah dengan mengatakan :Ya Rasulullah! Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.’ Beliau menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.” (HR.Muslim)
            Nasihat yang begitu singkat dan padat, namun berkonsekuensi sangat berat. Kita mengetahui betapa susah untuk istiqomah (ajeg) dalam satu kebaikan. Tidak jarang dari kita yang hari ini semangat untuk melakukan ketaatan namun di esok hari sudah mulai kehilangan ghirahnya, menjadi malas dan melempem untuk beramal sholih. Kitapun banyak mendengar atau membaca kisah-kisah orang-orang yang awalnya beriman namun  meninggal dalam kekufuran.
            Salah satunya adalah kisah  tentang seorang lelaki yang masuk surga karena seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat. Dikisahkan ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah!” Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan. Kemudian kepala suku tersebut mengulangi lagi perintahnya dengan mengatakan “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat!”. Lelaki pertama kemudian menangkap lalat dan mengorbankannya, mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan, dimana karena pengorbanan yang ia lakukan tersebut itulah, ia masuk neraka, meskipun hanya dengan seekor lalat. Mereka kemudian memerintahkan  laki-laki kedua untuk berkorban serupa seperti yang sebelumnya dilakukan oleh orang pertama.“Berkorbanlah!, Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah ‘Azza Wa Jalla.” Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Tetapi oleh sebab penolakannya berkorban tersebut, ia-pun masuk surga.
Itulah sekelumit kisah tentang susahnya menjaga keistiqomahan di dalam kebaikan dan ketaatan. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk senantiasa berdoa, memohon kepada Allah agar selalu berada dalam keistiqomahan. Diantara doa yang dapat dibaca dan mengantarkan kita kepada keistiqomahan, salah satunya yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 8. Berikut doa yang selalu dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar diberi keistiqomahan: “Ya muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)”
DOA DIUSIA 40 TAHUN
            Di dalam lembaran sejarah kita dapat membaca tentang bukti keampuhan doa-doa yang dipanjatkan oleh mereka yang bertawakkal kepada Allah. Salah satunya adalah kisah Ummu Salamah, salah satu istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yang menceritakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ummu Salamah berkata: “Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam perintahkan padaku. Kemudian  Allah-pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Ini menunjukkan akan keajaiban dan keampuhan dari sebuah doa yang dipanjatkan dengan sungguh-sungguh, dimana do’a Ummu Salamah dikabulkan oleh Allah dengan diberikan suami “sekelas” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Ketika seseorang telah menginjak usia 40 tahun, secara khusus Allah Azza Wa Jalla mengajarkan sebuah doa yang hendaknya senantiasa dipanjatkan dalam simpuh sujud kita kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman  dalam surat Al Ahqaf ayat 15 :
Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
Doa merupakan senjata ampuh bagi seorang. Pada dasarnya semua doa yang disyariatkan dalam Al Quran dan Sunnah baik berisi permohonan untuk mendapatkan kebaikan maupun perlindungan dari segala keburukan terbukti sangat mujarab. Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan: “Doa dan bacaan ta’awudz itu seperti pedang. Hebatnya sebuah pedang bukan hanya bergantung kepada ketajamannya saja, tp juga orang yang menggunakannya....”.
Ini berarti mujarab dan dikabulkannya sebuah doa kembali kepada diri kita sendiri. Tetapi yang jelas seberat apapun kesusahan yang dihadapi manusia, bila ia masih mau berdoa dan meminta kepada Allah, maka sungguh tidak ada yang mustahil bagi Allah Azza wa Jalla untuk mengabulkannya. Wallahu A’lam.

Surakarta 26 dzulhijjah 1439 H / 06 September 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasihat Kehidupan

Janganlah tertipu dengan elok dan indahnya dunia, karena esok atau lusa kematian pasti akan memisahkan kita darinya. Kapanpun dan dimanapun kita berada tanpa mengenal waktu dan usia. Sebagaimana yang Allah firmankan : “ Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian tersebut pasti akan menemuimu” .(QS Al Jumuah: 8)   Dunia yang begitu manis dan indah hanyalah tempat persinggahan sementara, dibelakang sana akan ada kehidupan yang nyata yaitu kehidupan akhirat. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan bahwa dunia ini seperti setetes air yang melekat di jari, sedangkan akhirat merupakan samudera yang sangat luas. Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati pasar sementara banyak orang berada di dekat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berjalan melewati bangkai anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil. Sambil memegang telinganya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa

RAHMAH EL YUNUSIYAH ; Syaikhah Dunia Pendidikan Perempuan

  Negeri Minangkabau terkenal telah melahirkan begitu banyak  tokoh utama di negeri ini, baik alim ulama maupun para cendekia. Tidak hanya hanya kaum pria yang menonjol, tapi juga kaum wanitanya.  Salah satu tokoh perempuan hebat dari negeri ini adalah Rahmah El-Yunusiyah. Tidak diragukan lagi Rahmah el-Yunusiyah adalah salah satu tokoh wanita hebat yang dimiliki negeri ini. Meskipun tidak diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional, tetapi beliau menorehkan sejarah hidupnya denga tinta emas. Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang tetap eksis hingga hari ini merupakan  salah satu bukti perjuangannya. Bahkan beliau adalah perempuan pertama yang mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar Mesir. Penganugerahan gelar syaikhah yang diberikan pada tahun 1957 ini dimaksudkan untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam bidang pendidikan kaum perempuan. Rahmah El-Yunusiyah dilahirkan pada hari Jumat 20 Desember 1900 di Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat. Anak

"BELAJARLAH, AGAR BERADAB!"

Oleh: Adian Husaini dan Nuim Hidayat  Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. M. Hasyim Asy’ari, menulis sebuah buku penting bagi dunia pendidikan. Judulnya, Aadabul ‘Aalim wal-Muta’allim Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas tentang konsep adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.” (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, persusuan yang baik, dan adab yang baik).  Jadi, mendidik anak agar menjadi orang beradab, sejatinya adalah tugas orang tua. Sebagai institusi pendidikan, sekolah mengambil alih sebagian tugas itu, menggantikan amanah yang dibebankan kepada orang tua. Tujuannya tetap sama: jadikanlah anak beradab! Adab memang sangatlah penting kedudukannya dalam ajaran Islam. Imam Syafii, imam mazhab yang banyak menjadi panutan kaum Muslim di Indonesia, pernah ditanya, bagaimana