Usia Istimewa ?
Mengapa usia 40
tahun dianggap istimewa? Banyak contoh peristiwa penting di dunia yang
berhubungan dengan usia 40 sehingga menjadikannya usia istimewa. Dahulu
orang-orang Quraisy jahiliyah tidak akan memasukkan seorangpun ke dalam Darun
Nadwah (Tempat Musyawarah) sebelum mencapai usia 40 tahun, kecuali Hakim bin
Hizam. Ia diizinkan masuk ketika berusia 15 tahun disebabkan kecerdasan akal serta kecerdikannya. Nabi Muhammad Shallahu
‘Alaihi Wasallam diangkat menjadi Nabi dan Rasul ketika ia berusia 40
tahun. Begitu juga dengan dengan nabi-nabi yang lain.
Sementara dalam sebuah catatan sejarah disebutkan bahwa salah satu suku di China akan mematuhi rajanya, jika raja tersebut sudah mencapai usia 40 tahun. Di dalam ilmu kedokteran, seseorang sebaiknya bersiap-siap menghadapi banyak masalah kesehatan saat memasuki usia 40 tahun karena banyak penyakit kronis yang biasanya datang menghampiri saat mencapai usia ini, diantaranya masalah penglihatan, kolesterol, gula darah, tiroid, persendian, tulang (osteoporosis) dan sebagainya. Dalam penelitian dikatakan : “Sesungguhnya penyakit gula jika datang sebelum usia 40 tahun berarti disebabkan karena faktor keturunan/ autoimun (DM Tipe 1), sedangkan jika datang setelah usia 40 tahun maka karena disebabkan hal tertentu (DM Tipe 2)”. Disebutkan pula seorang wanita disarankan untuk hamil dan melahirkan hingga berusia 40 tahun, karena jika melewati usia tersebut, maka faktor resiko yang mungkin terjadi sangat tinggi, antara lain terjadinya komplikasi, bayi prematur atau BBLR (Bayi Berat Badan Lahir Rendah), kelainan genetik/cacat bawaan dan sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan dan perhatian yang lebih instensif pada masa kehamilan maupun saat proses kelahiran bayinya. Beberapa hal tersebut diatas hanyalah segelintir contoh istiwewanya usia 40 tahun, karena masih banyak contoh peristiwa penting di dunia yang berhubungan maupun dihubung-hubungkan dengan usia istimewa ini.
Sementara dalam sebuah catatan sejarah disebutkan bahwa salah satu suku di China akan mematuhi rajanya, jika raja tersebut sudah mencapai usia 40 tahun. Di dalam ilmu kedokteran, seseorang sebaiknya bersiap-siap menghadapi banyak masalah kesehatan saat memasuki usia 40 tahun karena banyak penyakit kronis yang biasanya datang menghampiri saat mencapai usia ini, diantaranya masalah penglihatan, kolesterol, gula darah, tiroid, persendian, tulang (osteoporosis) dan sebagainya. Dalam penelitian dikatakan : “Sesungguhnya penyakit gula jika datang sebelum usia 40 tahun berarti disebabkan karena faktor keturunan/ autoimun (DM Tipe 1), sedangkan jika datang setelah usia 40 tahun maka karena disebabkan hal tertentu (DM Tipe 2)”. Disebutkan pula seorang wanita disarankan untuk hamil dan melahirkan hingga berusia 40 tahun, karena jika melewati usia tersebut, maka faktor resiko yang mungkin terjadi sangat tinggi, antara lain terjadinya komplikasi, bayi prematur atau BBLR (Bayi Berat Badan Lahir Rendah), kelainan genetik/cacat bawaan dan sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan dan perhatian yang lebih instensif pada masa kehamilan maupun saat proses kelahiran bayinya. Beberapa hal tersebut diatas hanyalah segelintir contoh istiwewanya usia 40 tahun, karena masih banyak contoh peristiwa penting di dunia yang berhubungan maupun dihubung-hubungkan dengan usia istimewa ini.
Salah satu
keistimewaan usia 40 tahun tercermin dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Seorang hamba
muslim apabila usianya mencapai 40 tahun, maka Allah akan meringankan hisabnya
.” (HR. Ahmad). Maksud hadits ini
adalah bahwa usia 40 tahun merupakan titik awal seorang makhluk untuk lebih berkomitmen
terhadap Sang Khaliq sehingga jika ia bersungguh sungguh akan komitmennya itu, maka
Allah akan meringankan perhitungan amalannya di akhirat nanti. Dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘Anhu dikatakan
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang
mencapai usia 40 tahun dan amalan kebajikannya tidak lebih daripada amal
keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.” Hadits ini
memberikan pengertian bahwa manusia
harus lebih “interospeksi diri” ketika usianya menginjak 40 tahun dan
diharapkan untuk lebih meningkatkan atau minimal mempertahankan amalan-amalan
kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya. Saat memasuki usia 40 tahun hendaknya
prioritas hidup berubah dari berkutat dengan urusan dunia untuk mencari materi,
berganti haluan untuk berkonsentrasi ibadah dalam rangka mengumpulkan pahala
sebanyak-banyaknya sebagai bekal di akhirat nanti.
Secara khusus Allah-pun telah menyebutkan
tentang keistimewaan usia 40 tahun dalam Al Qur’anul Karim, diantaranya dalam
QS Al-Ahqaf 15 yang berisi peringatan dari Allah agar manusia saat berusia 40
tahun harus banyak berdoa untuk lebih mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepadanya,
beramal sholeh, berbakti kepada kedua orangtua dan bertaubat. Sedangkan dalam QS
Fathir : 37 Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kami tidak memanjangkan umurmu
dalam masa yang cukup untuk berfikir dan apakah tidak datang kepadamu pemberi
peringatan?” Ayat ini mengingatkan manusia untuk lebih memikirkan tentang
hakekat saat berUsia40 tahun.
Usia 40
tahun dalam perspektif
Al-Quran adalah titik tolak yang sangat menentukan arah perjalanan kehidupan
anak manusia. Apabila seseorang diberi jatah usia oleh Allah sampai 60 atau 70 tahun, sementara perjalanan
kehidupanya sudah sampai usia 40 tahun, berarti 2/3 jatah umurnya sudah dilewati, sehingga sisa umurnya tinggal 1/3nya lagi. Ketika saat itu tiba
manusia harus benar-benar waspada, karena Malakul
Maut sudah bersiap-siap merenggut nyawanya, liang kuburpun telah menantinya, maka bekal kebaikan untuk tabungan di akhirat sudah seharusnya telah dikumpulkannya jauh-jauh hari
sebelumnya. Sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan, “Sebaik-baik manusia
adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya dan seburuk-buruk manusia adalah
yang panjang umurnya dan buruk pula amalannya. (HR. Ahmad). Hadits ini
menegaskan bahwa usia panjang yang dianugerahkan Allah kepada kita hendaknya
dijadikan usia yang barakah yaitu untuk mengumpulkan amal kebaikan
sebanyak-banyaknya.
LANGKAH PENTING DI USIA 40 TAHUN
Dr Ahmad Annuri, M.A di dalam bukunya Rahasia Dibalik Usia 40 Tahun menuliskan langkah–langkah penting yang harus dilakukan
saat menginjak usia 40 tahun, sebagai berikut :
Pertama : Bersyukur
Ketika
Allah telah mengkaruniakan kepada kita usia mencapai 40 tahun, tentunya telah banyak nikmat yang
telah Allah berikan kepada kita semua, baik berupa nikmat kesehatan, hidayah iman, ke-Islaman dan keturunan yang shalih.
Bersyukur
yang sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengucapkan Alhamdulillah. Namun seorang hamba harus bersyukur dengan hati, lisan dan anggota
badannya, sebagaimana yang pernah dikatakan Ibnu Qudamah, “Syukur (yang
sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan”.
Bersyukur dengan hati yakni dengan
meyakini bahwa seluruh nikmat bersumber dari Allah. Allah berfirman : “Segala nikmat yang
ada pada diri kalian (datangnya) dari Allah” (QS. An Nahl : 53). Maka tugas hati manusia dalam bersyukur adalah dengan mengakui
dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah dan bukan
dari selain-Nya. Selain itu, iapun dituntut untuk mencintai Allah dan
meniatkan untuk menggunakan nikmat yang telah diberikan kepadanya di jalan yang diridhai Allah Ta’ala.
Bersyukur dengan lisan yakni dengan
memperbanyak mengucapkan hamdalah, sebagaimana perintah Allah; “Katakanlah : “Alhamdulillah (segala
puji bagi Allah)” (Qs. Al-Isra : 111). Termasuk bentuk syukur dengan lisan ialah
menceritakan kenikmatan yang kita rasakan kepada orang lain. Adapun mengenai
nikmat Rabbmu, maka ceritakanlah. (Qs Adh-Dhuha : 11). Ibnu Katsir
menjelaskan maksud ayat ini bahwa, sebagaimana dulu seseorang dalam keadaan
miskin lagi kekurangan, kemudian Allah mengubah nasibnya lalu membuatnya kaya,
maka sebut-sebutlah – mensyukuri dengan
lisan- nikmat Allah yang telah
dianugerahkan-Nya itu.
Para ulama salaf ketika merasakan nikmat
Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanya, “Bagaimana keadaanmu
di pagi ini ?” Merekapun menjawab “Alhamdulillah”.
Adapun bersyukur dengan anggota badan, yakni mempergunakan nikmat Allah untuk
ketaatan kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada Allah. Syukur jenis ketiga
ini amatlah berat sehingga hanya segelintir hamba-Nya yang mengamalkannya.
Kedua : Akselerasi (Percepatan) Dalam Beramal Shalih
Amal shalih merupakan bekal bagi seorang
mukmin menghadap Allah, ibaratnya sebuah simpanan atau investasi selama hidup di
dunia untuk “dibuka” dan
dihitung hari kiamat kelak, yakni pada hari ketika harta dan anak
keturunan tidak bisa memberikan manfaat apa-apa kecuali mereka yang datang
kepada-Nya dengan hati yang bersih.
Menurut istilah dalam Al-Qur’an dan As Sunnah yang dimaksud dengan amal shalih
adalah melakukan ketaatan kepada Allah dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, menjauhkan diri dari maksiat, melakukan
amalan apapun yang datangnya dari Al-Qur’an dan As sunnah, baik menyangkut pribadi, keluarga maupun masyarakat. Namun ketika seseorang melakukan amal
shalih, ia harus memperhatikan syarat-syarat didalamnya, karena syarat tersebut merupakan pondasi penting dalam beramal shalih.
Diantara syarat penting yang harus diperhatikan adalah hendaknya amal shalih tersebut dilakukan atas dasar
keimanan kepada Allah, niat yang shahih dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Adapun yang dimaksud dengan percepatan
dalam beramal yakni memilih amalan yang memiliki pahala jariyah. Seperti
membangun masjid, menyumbangkan sebagian harta ke pondok pesantren atau membagikan Al Quran ke TPA, Pondok Tahfidz Al Quran dan lain sebagainya. Dengan membagikan Al Quran ke TPA misalnya, maka kita akan mendapatkan pahala
dari orang yang membaca atau belajar dengan menggunakan Al Quran yang kita berikan tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang mempelajarinya.
Selain itu, kita diperintahkan memanfaatkan
waktu untuk banyak beramal sholih dalam rangka mendapatkan pahala jariyah. Perintah untuk memanfaatkan
kesempatan berupa anugerah “waktu” ini diterangkan dalam hadits berikut: “Manfaatkanlah
lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa
sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum sibukmu, masa mudamu sebelum
tuamu dan masa kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al Hakim). Oleh sebab itu
hendaknya kita mengisi waktu muda, senggang dan sehat dengan berbagai kegiatan
ibadah kepada Allah, karena jika seseorang sulit beramal di waktu tua padahal
waktu muda gemar beramal, maka baginya tetap akan dicatatkan pahala kebaikan
seperti keadaannya di waktu muda. Hal tersebut sama dengan seseorang yang sakit
dan bersafar. Sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Radhiyallahu ‘Anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :“Jika seorang
hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya semisal keadaan ketika ia
beramal saat mukim atau sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996).
Ketiga : Mendidik Keluarga
Shalih
Anak keturunan merupakan perhiasan
indah di dunia yang dapat mengantarkan seseorang pada kebahagiaan di dunia dan
di akhirat, atau sebaliknya dapat membawa kepada kesengsaraan di dunia dan siksa
di akhirat kelak. Banyak orang yang setelah menikah menginginkan segera dikaruniai
seorang anak yang hadir dalam kehidupannya, karena besar harapannya bahwa keberadaan
anak dalam keluarga maka hidup akan menjadi lebih indah.
Memiliki anak yang shaleh merupakan
impian semua orang tua. Bagaimana
tidak, anak shalih merupakan investasi bagi kedua orang tuanya kelak di
akhirat. Sebagaimana
hadits yang sering kita dengar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda, : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali
tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa
anak yang shalih” (HR. Muslim). Selain
keutamaan tersebut, diceritakan bahwa di akhirat ada orang tua yang keheranan
karena derajatnya ditinggikan oleh Allah dan dosanya diampuni, disebabkan doa
dan istighfar dari anak-anaknya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seseorang ditinggikan derajatnya di surga (kemudian dia heran dan berkata)
Mengapa bisa sampai tingkatan ini? Dikatakan kepadanya: itu disebabkan permohonan ampunan (istighfar) anakmu untukmu” (HR. Ibnu
Majah).
Bila kita menginginkan anak dan keturunan yang shalih maka
kitapun juga dituntut untuk memperbaiki diri dan berusaha menjadi orangtua yang shalih. Dan yang terpenting adalah tidak pernah bosan mendoakan anak keturunan kita
menjadi anak yang shalih dan shalihah sebagaimana para Anbiya (Nabi) mendoakan
anak keturunan mereka. Diantara cara generasi awal membina generasi shalih yaitu ; Mempelajari ke-Islaman dalam ilmu dan amal, memutus
sempurna prilaku jahiliyah di masa lalu
serta berdiri di hadapan Al Quran
seperti berdirinya seorang prajurit di hadapan panglimanya, yakni tunduk dan
patuh terhadap segala perintah.
Keempat : Taubat Nasuha
Ketika waktu
telah mengikis usia, sementara dosa laksana pasir di padang sahara, maka tak akan ada
yang dapat menghapuskanya kecuali taubat nasuha. Beliau Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Seorang yang
bertaubat maka ia sama dengan seseorang yang tidak memiliki dosa” (HR.
Ibnu Majah)
Taubat merupakan
salah satu perintah Allah kepada hambanya yang beriman. Banyak
ayat dan hadits yang berbicara tentang taubat, diantaranya
Allah berfirman : “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang
beriman, supaya kamu beruntung” ( Qs. An-Nur :24)
Hakikat taubat
adalah kembali kepada Allah dengan berkomitmen melaksanakan semua yang dicintai
dan meninggalkan semua yang dibenci. Ibnu Qayyim menjelaskan hakikat taubat dengan
mengatakan : “ Hakikat taubat adalah penyesalan terhadap perbuatan maksiat
yang pernah dilakukan, meninggalkannya ketika sedang berada dalam kemaksiatan,
dan berkeinginan keras untuk tidak mengulanginya pada waktu-waktu yang akan
datang”.
Taubat
seseorang akan diterima oleh Allah bila taubat tersebut memenuhi syarat-syarat
daripada taubat itu sendiri, bukan taubat “sambal” yang hari ini bertaubat kemudian besok melakukan pelangaran yang
sama. Diantara syarat taubat yang harus dipenuhi adalah
berhenti dan bertekad kuat berlepas diri dari perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, menyesali perbuatan dosa tersebut, harus dilakukan ikhlas
semata-mata karena Allah dan bertaubat pada waktu diterimanya taubat bukan
seperti taubatnya fir’aun yang bertaubat dalam keadaan sakaratul maut
datang menjemput, karena taubat seperti ini akan sia-sia belaka karena
bertaubat disaat
waktu sudah tidak diterimanya lagi taubat.
Kelima : Istiqomah Dalam Islam
Suatu
ketika ada salah seorang shahabat yang datang dan bertanya kepada Rasulullah dengan mengatakan :“Ya Rasulullah! Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah
perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.’ Beliau menjawab,
‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.” (HR.Muslim)
Nasihat
yang begitu singkat dan padat, namun berkonsekuensi sangat berat. Kita mengetahui betapa
susah untuk istiqomah (ajeg) dalam satu kebaikan. Tidak jarang dari
kita yang hari ini semangat untuk melakukan ketaatan namun di esok hari sudah mulai kehilangan
ghirahnya, menjadi malas dan
melempem untuk beramal sholih. Kitapun banyak mendengar atau membaca kisah-kisah orang-orang
yang awalnya beriman namun meninggal
dalam kekufuran.
Salah
satunya adalah kisah tentang seorang lelaki yang masuk surga karena seekor lalat dan ada
pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat. Dikisahkan ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun
yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban
(memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun
mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah!” Ia pun menjawab,
“Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Kemudian kepala
suku tersebut mengulangi lagi perintahnya dengan mengatakan “Berkorbanlah,
walaupun hanya dengan seekor lalat!”. Lelaki pertama kemudian menangkap lalat dan mengorbankannya, mereka pun
memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan, dimana karena pengorbanan yang ia lakukan tersebut itulah, ia
masuk neraka, meskipun hanya dengan
seekor lalat. Mereka kemudian memerintahkan laki-laki kedua untuk berkorban serupa seperti yang sebelumnya dilakukan oleh orang pertama.“Berkorbanlah!”, Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain
Allah ‘Azza Wa Jalla.” Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Tetapi oleh sebab penolakannya berkorban
tersebut, ia-pun masuk surga.
Itulah
sekelumit kisah tentang susahnya menjaga keistiqomahan di dalam kebaikan dan ketaatan. Oleh
karena itu kita dianjurkan untuk
senantiasa berdoa, memohon kepada Allah agar selalu berada dalam keistiqomahan. Diantara doa yang dapat dibaca dan mengantarkan kita kepada keistiqomahan, salah satunya yang termaktub dalam surat Ali Imran
ayat 8. Berikut doa yang selalu dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar diberi keistiqomahan: “Ya muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat
yang Maha membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku di atas
agama-Mu)”
DOA DIUSIA 40 TAHUN
Di
dalam lembaran sejarah kita dapat membaca tentang bukti keampuhan doa-doa yang dipanjatkan
oleh mereka yang bertawakkal kepada Allah. Salah satunya adalah kisah Ummu Salamah, salah satu istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam, yang menceritakan bahwa beliau pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda,“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia
mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii
mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa (Segala sesuatu adalah milik Allah dan
akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang
menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)”, maka Allah akan
memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Ummu Salamah berkata: “Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut
do’a sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam perintahkan padaku.
Kemudian Allah-pun memberiku suami yang
lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Ini
menunjukkan akan keajaiban dan keampuhan dari sebuah doa yang dipanjatkan
dengan sungguh-sungguh, dimana do’a Ummu Salamah dikabulkan oleh Allah dengan
diberikan suami “sekelas” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Ketika
seseorang telah menginjak usia 40 tahun, secara khusus Allah Azza Wa Jalla mengajarkan
sebuah doa yang hendaknya senantiasa dipanjatkan dalam simpuh sujud kita kepada
Allah Ta’ala. Allah berfirman dalam
surat Al Ahqaf ayat 15 :
Artinya : Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula),
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila
Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
Doa merupakan senjata ampuh bagi seorang. Pada dasarnya semua
doa yang disyariatkan dalam Al Quran dan Sunnah baik berisi permohonan untuk
mendapatkan kebaikan maupun perlindungan dari segala keburukan terbukti sangat
mujarab. Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan: “Doa dan bacaan ta’awudz itu
seperti pedang. Hebatnya sebuah pedang bukan hanya bergantung kepada
ketajamannya saja, tp juga orang yang menggunakannya....”.
Ini berarti mujarab
dan dikabulkannya sebuah doa kembali kepada diri kita sendiri. Tetapi yang
jelas seberat apapun kesusahan yang dihadapi manusia, bila ia masih mau berdoa
dan meminta kepada Allah, maka sungguh tidak ada yang mustahil bagi Allah Azza wa Jalla untuk mengabulkannya. Wallahu A’lam.
Surakarta 26 dzulhijjah 1439 H / 06 September 2018
Komentar
Posting Komentar